Kamis, 19 Mei 2011

KESENJANGAN SOSIAL

JUM'AT, 20 MEI 2011


Hidup di zaman ini memang serba sulit. Problem keseharian yang menumpuk sudah tidak jarang lagi telah menempatkan seseorang untuk mengambil jalan pintas. Faktor ekonomi yang tidak menentu inilah kemudian menjadikan seseorang menghalalkan segala cara. Upaya untuk terus mampu bertahan hidup di tengah kondisi yang serba tidak menentu dan carut-marut. Hal itu cenderung mengarahkan seseorang untuk bersikap egoistik, memikirkan diri sendiri dan bahkan nekat melakukan tindak kriminal. Mulai dari bentuk-bentuk premanisme, pencurian, perampokan hingga penculikan anak yang kini kian marak.
Dalam sebulan ini, ibukota Jakarta dan sekitarnya telah digemparkan dengan adanya kasus penculikan pada anak-anak. Penculikan yang selalu saja terjadi pada setiap harinya. Tentunya hal ini menjadikan para orang tua merasa tidak aman dalam kesehariannya yang selalu saja dihantui ketakutan akan keselamatan anak-anak mereka. Betapa tidak resah, seorang anak yang baru pulang sekolah tiba-tiba diculik sekelompok orang dengan tujuan tidak jelas.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan selama 2007 hingga Juni telah terjadi 39 kasus penculikan pada anak. Parahnya lagi sejak Juni hingga Agustus ini saja telah bertambah 14 kasus penculikan. Padahal itu baru kasus-kasus yang dapat teridentifikasi atas adanya laporan dari para korban. Tentu jumlahnya jauh lebih besar dari yang ada saat ini, karena banyak para korban yang tidak melaporkan lantaran khawatir atas keselamatan anak-anaknya.
Adalah Raisah Ali, siswi TK Al-Ikhsan Jakarta, diculik beberapa waktu lalu yang kini telah diselamatkan. Tak pelak, kasus penculikan anak seorang pengusaha ini mengundang perhatian berbagai elemen masyarakat. Berbagai media massa baik cetak maupun elektronik juga secara genggap gempita selalu meliput perkembangannya. Bahkan istana negara dibuatnya heboh seakan turut serta sehingga diadakannya konferensi press yang dilakukan oleh Presiden SBY khusus terkaik dengan kasus ini.
Merebaknya kasus penculikan anak di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia sesungguhnya bukan lagi didasarkan atas balas dendam atau yang lainnya seperti masa-masa terdahulu. Data di kepolisian menunjukkan bawah kasus-kasus penculikan anak ini hanya sekedar untuk mendapatkan sejumlah rupiah. Uang yang harus mereka dapatkan dalam waktu singkat. Artinya mereka benar-benar hanya demi sejumlah uang dengan berbagai alasannya bukan dendam (sakit hati) atau konflik antar keluarga.
Bergesernya motif inilah kemudian yang harus direnungkan bersama. Kalau dulu penculikan ini bermotifkan atas bentuk balas dendam atau konflik keluarga, tapi kini motif penculikan seperti itu sudah jarang lagi terjadi. Kini ada alasan lain yang mengharuskan para penculik melakukan tindakan kriminal itu. Ialah mempertahankan diri untuk dapat terus hidup di tengah situasi ekonomi yang serba sulit. Persoalan pelik yang terus mencengkram sebagian besar masyarakat bangsa ini.
Kemiskinan dan pengangguran yang terus meningkat drastis akhir-akhir ini menempatkan situasi perekonomian mikro menjadi sangat rapuh. Ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi arus pasar bebas dan globalisasi juga dibuatnya kalang-kabut. Tatanan kehidupan yang terus berubah sangat cepat setiap saat bahkan melebihi yang lainnya. Disaat-saat itulah seakan-akan dituntut untuk dapat kompetisi. Kompetisi yang tidak lagi memandang bulu. Jika masih ingin untuk tetap dapat terus melanjutkan hidup maka haruslah berhasil.
Tak heran, dalam kondisi seperti itu setiap individu pasti selalu memikirkan pribadi masing-masing. Menganggap orang yang kurang beruntung lantaran mereka sendiri yang kurang maksimal. Sedangkan bagi mereka yang terbilang sukses beranggapan adalah hasil jerih payahnya sendiri. Menumpuk kekayaan tidak lebih hanya untuk diri sendiri. Dalam hal ini jelas tidak ada lagi rasa kebersamaan dan gotong-royong apalagi saling tolong menolong. Meskipun bangsa ini dikenal akan semangat itu tetapi kini tidak lagi. Gelombang monernisasi telah merubah paradigma perikehidupan masyarakat Indonesia.
Maka, jangan salahkan mereka para penculik yang hanya sekedar sesuap nasi harus berani untuk mennggandol anak orang terlebih dahulu. Bukan untuk memberikan justifikasi terhadap mereka para pelaku penculikan anak, tetapi saatnyalah untuk bercermin diri. Orang kaya-raya lahir dari negeri ini disatu sisi, namun disisi yang lain sangatlah banyak rakyat bangsa ini yang hidup jauh di bawah rata-rata. Mana Indonesia yang kala dahulu dikenal makmur sumber daya alamnya dan ramah masyarakatnya? Kini, yang ada hanyalah “Indonesia” dengan masyarakatnya dipisah oleh jurang kesenjangan sosial yang sangat lebar dan mereka hidup atas ketidakpedulian antar sesama.